Penolakan Terhadap Sisi Kotor dari Transisi Hijau di Sulawesi, Indonesia

Studi Kasus Emblematis Yes to Life No to Mining

Lihat kotak lambang dalam bahasa Inggris dan Spanyol

Foto: Perwakilan Yes to Life No to Mining dan Rainforest Rescue bersama masyarakat dari Loeha Raya, Sulawesi Selatan, yang menentang penambangan nikel di tanah dan perairan mereka.

Pada Oktober 2023, Yes to Life No to Mining, bersama dengan Rainforest Rescue, mengunjungi pulau Sulawesi di Indonesia sebagai bagian dari kunjungan solidaritas ke dalam berbagai komunitas yang menolak ekstraksi ‘Mineral Transisi’ – yaitu bahan mentah yang diidentifikasi oleh pemerintah dan industri sebagai sesuatu yang ‘diperlukan’ demi transisi menuju masa depan rendah karbon. Kasus Sulawesi ini menyoroti bagaimana beberapa pihak menanggung dampak buruk dari ‘Transisi Hijau’, dan hanya menunjukkan betapa kotornya ‘hijau’ dalam hal ini.

Sulawesi telah ditetapkan sebagai pusat keanekaragaman hayati global yang berfungsi sebagai rumah bagi ekosistem yang kaya dengan hutan hujan, sungai, pegunungan dan satwa liar endemik. Pertanian lada, pengelolaan hutan hujan dan perikanan termasuk dalam praktik umum yang dilakukan oleh penduduk setempat untuk hidup berdampingan dengan alam. Namun, penduduk dan ekologi Sulawesi berada di wilayah cadangan nikel terbesar di dunia.

Nikel dipergunakan dalam fabrikasi baja tahan karat dan manufaktur baterai sehingga bahan ini diminati untuk pembangunan turbin angin, manufaktur kendaraan listrik (EVs) dan lainnya. Pemerintah Indonesia dengan pandangan ingin memanfaatkan masa depan menjanjikan dari logam ini, melarang ekspor bijih nikel mentah pada tahun 2020 dan memilih untuk mengundang berbagai perusahaan multinasional untuk membangun pabrik peleburan dan pengelolaan yang mengubah bijih nikel menjadi hasil bernilai tinggi. Sebagian besar dari perusahaan yang datang ke Sulawesi berasal dari Australia, Brasil, Tiongkok dan negara-negara besar lain untuk membantu mengubah Indonesia jadi produsen nikel terbesar di dunia. Di seluruh Sulawesi, 370.000 hektar dipergunakan untuk pertambangan nikel, dan terdapat izin untuk lebih dari 500.000 hektar.

Foto Atas: Keindahan Sulawesi. Menuju ke Danau Towuti (danau terbesar kedua di Indonesia) untuk bertemu dengan masyarakat lokal dan petani lada di Tanamalia yang menentang tambang nikel raksasa Brasil, Vale.  Foto Bawah: Pembangkit listrik tenaga batu bara untuk menyalakan smelter nikel yang sedang dibangun di sepanjang pesisir Sulawesi Tengah dalam perjalanan menuju Kawasan Industri Morowali

Dampak dari proyek pertambangan saat ini

Foto: Perkebunan lada di Loeha Raya, Sulawesi Selatan, Indonesia. Petani lada di daerah tersebut mempekerjakan ribuan pekerja musiman selama musim panen. Namun, pertambangan nikel mengancam keberadaan perkebunan lada ini, tidak hanya mempertaruhkan penciptaan lapangan kerja bagi orang-orang yang membutuhkan pekerjaan tetapi juga mata pencaharian para petani lada itu sendiri.

Dampak terhadap populasi lokal sangat dahsyat. Ladang milik banyak petani yang diambil alih secara paksa tanpa pemberitahuan dan kelayakan kompensasi. Para petani terpaksa menyaksikan ladang lada milik mereka dihancurkan, sementara pihak kepolisian hanya hadir untuk menghentikan para petani demi melindungi kepentingan perusahaan. Tanah longsor dan limpasan sedimen berkelanjutan akibat penambangan telah menghancurkan pasokan air masyarakat. Limbah beracun dari pembangkit listrik tenaga batu bara beserta dengan pembuangan air tambang telah berdampak pada kehidupan laut sehingga berisiko terhadap mata pencaharian pelaut.

Salah satu dampak terbesar dari pertambangan nikel adalah kontaminasi air. Friends of the Earth Japan dan Pacific Asia Resource Centre, bersama dengan mitra kami di Sulawesi Alliance, melakukan penyelidikan kualitas air di sekitar proyek pertambangan nikel milik perushaan PT Vale Indonesia (anak perusahaan dari Vale multinasional) dan menemukan kromium heksavalen Cr(VI) dengan kadar tinggi, sebuah logam berat beracun dan bersifat karsinogenik. Bahan beracun ini dapat menyebabkan kanker serta kerusakan pada hati dan kulit.

Di Sorowako, Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan, penyelidikan ini secara konsisten menunjukkan Sungai Lawewu mengandung kadar Cr(VI) yang lebih tinggi dari pedoman World Health Organisation (WHO) dan standar pemerintah Indonesia. Keberadaan logam ini ditemukan pada aliran hulu – di sekitar operasi pertambangan nikel, dan aliran hilir – di dekat  di mana lokasi Sungai Lawewu mengalir ke Danau Matano, sebuah kawasan konservasi yang secara resmi diakui mendapat perlindungan tinggi. Kadar ini diperkirakan akan meningkat seiring dengan perubahan iklim yang membawa cuaca yang lebih ekstrim dan curah hujan yang lebih  tinggi – lebih banyak hujan berarti lebih banyak logam berat yang terbawa ke sungai, danau dan laut.

Sumber mata air di atas Desa Asuli, Kecamatan Towuti juga ikut diuji – tempat di mana PT Vale memperluas operasinya pada tahun 2017. Tingkat kadar logam tersebut mencapai 0,110mg/L, jauh di atas 0,05mg/L sesuai rekomendasi WHO. Penduduk Desa Asuli melaporkan bahwa air mereka telah berubah menjadi coklat dengan aliran yang menjadi tidak stabil setelah perluasan pertambangan nikel.

Anggota Yes to Life No to Mining (YLNM), Muhammad Al Amin, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sulawesi Selatan menjelaskan bagaimana PT Vale telah menguasai air di daerah tersebut dengan membangun bendungan dan mengambil air untuk menghasilkan energi bagi operasi pertambangan mereka tanpa peduli dengan kebutuhan masyarakat setempat.

Kawasan Industri Morowali (PT. IMIP)

Kawasan Industri Morowali – sebuah kawasan yang penuh dengan tambang, pabrik peleburan, dan pabrik pengolahan, yang membentang di sepanjang pantai Sulawesi Tengah yang terkontaminasi

Saat melaju melalui tempat yang dikenal sebagai ‘titik pusat produksi nikel dunia’ – Kawasan Industri Morowali – sebuah tempat bagai neraka yang penuh dengan tambang, peleburan dan pabrik pengolahan, membentang sepanjang pesisir yang tercemar di Sulawesi Tengah, kami jadi yakin seperti apa rasanya berada di ‘zona pengorbanan’. Kami dapat merasakannya di paru-paru dan kulit. Kami dapat mencium baunya di udara berasap dan merasakannya dari piring berdebu (‘sebaiknya Anda hindari memakan ikan’). Sulit untuk membayangkan seperti apa rasanya hidup, bekerja dan makan di sini setiap hari.

Namun, mereka tetap bekerja di sini: 81.000 orang bekerja di sepanjang kawasan industri seluas 3.000 hektar ini. Para pekerja tidak hanya harus berhadapan dengan lingkungan yang beracun, tetapi juga sering terjadi kecelakaan di dalam tambang dan pabrik akibat kondisi kerja yang tidak aman bagi tenaga kerja yang tidak punya serikat pekerja. Di akhir perjalanan, kami berbicara dengan seorang mantan pekerja yang menjadi manajer untuk enam perusahaan pertambangan. Dia mengatakan bahwa dia tidak tahan lagi dengan kekacauan dan kondisi kurang teratur yang menjadi praktik normal di lingkungan kerja, padahal kondisi kurang teratur bisa mengakibatkan bahaya bahkan kematian. Tidak lama setelah kami meninggalkan pulau tersebut, 18 pekerja terbunuh dan 41 terluka akibat ledakan tungku di pabrik nikel milik Tiongkok. Antara tahun 2019 dan 2023, 30 nyawa telah terenggut.

Selama satu dekade terakhir, Labota adalah desa nelayan. Sekarang, pembangkit listrik tenaga batu bara, pabrik baja, peleburan, derek jangkung dan menara transmisi mendominasi seluruh wilayah. Asap dan kabut asap mencekik udara. Sungguh ironis bahwa ini adalah wajah dari ‘energi bersih’. Bahkan ‘energi hijau’ adalah gagasan yang konyol, ketika kami menyaksikan tumpukan batu bara dikirim dari Kalimantan, Borneo untuk jadi bahan bakar industri layaknya monster ini. Tidak hanya pembakaran batu bara saja yang berkontribusi secara langsung terhadap kehancuran iklim, tetapi kerusakan parah akibat pertambangan batu bara terhadap habitat dan masyarakat yang berharga di Borneo adalah sama persis seperti kondisi yang kami saksikan di sini.

The following video is a compilation of the mines, smelters, processing plants and polluted coastline we witnessed driving through Morowali Industrial Park.

Foto: Indonesia Morowali Industrial Park (PT. IMIP), Sulawesi Tengah, Indonesia. Kredit: Google Earth.

Pembela Kehidupan: Perempuan yang Memimpin Perjuangan Melawan Pertambangan Nikel

Torobulu

Kami mengunjungi Desa Torobulu, Sulawesi Tenggara dan disambut dengan hangat oleh sekelompok besar perempuan yang mengorganisir diri mereka sendiri untuk menolak tambang nikel terbuka yang berjarak 100 meter dari desa mereka. Proyek PT WIN (Wijaya Intan Nusantara Mining milik Frank Salim Kalalo) adalah pemasok bijih nikel industri otomotif yang jadi penyebab pencemaran dua sumber mata air dan persawahan di Desa Torobulu serta menimbulkan awan debu tebal berkelanjutan yang menggumpal baik di atas kepala maupun rumah mereka.

Masyarakat, bersama dengan desa dan para camat, bertemu dengan perusahaan yang setuju untuk mengakhiri kegiatannya. Namun, janji ini diingkari dan pada tanggal 6 November 2023, sekelompok penduduk mendatangi tempat kegiatan ilegal mencurigakan oleh perusahaan pertambangan tersebut untuk mempertanyakan kegiatan tersebut. Dua pemimpin masyarakat – Ibu Haslilin (Mama Kila) dan Andi Firmansyah ditunjuk dan didakwa dengan ‘menghalangi dan mengganggu operasi pertambangan’.

Kedua pemimpin ini terus dianggap kriminal secara konsisten karena membela lingkungan, hak asasi manusia dan hak bagi masyarakat mereka. Kami mewawancarai Mama Killa pada bulan Oktober 2023 mengenai kriminalisasi yang dihadapinya. Ketika berbicara bersamanya, anak laki-lakinya yang masih kecil mendekat dengan tampang yang terlihat jelas kecewa. “Dia trauma”, jelas Mama Killa. “Dia menyaksikan polisi menahan saya dan membawa pergi saya secara paksa. Jadi, dia selalu takut hal ini akan terjadi lagi dan seseorang akan memisahkan saya dari dia”.

Setelah penantian yang lama dan sulit, pada tanggal 1 Oktober 2024, pengadilan di Andoolo, Sulawesi membebaskan Mama Kila dan Andi Firmansyah dari segala tuntutan. Dalam sebuah keputusan yang membenarkan tindakan para Pembela Hak Asasi Manusia, Hakim Nursinah menyatakan bahwa akibat PT WIN sama sekali tidak menyediakan Penilaian Dampak Lingkungan, maka tindakan masyarakat untuk mempertanyakan kegiatan perusahaan tersebut adalah hal ‘wajar’. Dia menegaskan masyarakat berhak mendapatkan lingkungan yang sehat, maka mereka punya hak untuk menolak pertambangan nikel.

Akan tetapi, cobaan mereka belum berakhir, sebab kejaksaan telah menyuarakan niatnya untuk membawa kasus ini ke Mahkamah Agung di Jakarta. Kisah Mama Killa adalah contoh situasi yang dihadapi banyak perempuan yang berjuang demi masa depan anak-anak mereka dan generasi yang akan datang. Mereka menghadapi intimidasi, pelecehan dan ancaman akan hilang kebebasan akibat mempertanyakan sistem yang mengizinkan penghancuran lingkungan. Dua puluh enam perempuan di desa kecil Torobulu kini telah mendapat peringatan hukum dan kejaksaan tampaknya berniat untuk menjadikan Ibu Haslilin sebagai contoh.

Foto: Ya untuk Hidup Tidak untuk Tambang dan Penyelamatan Hutan Hujan berdiri dalam solidaritas dengan para perempuan di Loeha Raya yang menolak pertambangan nikel.

Loeha Raya Komunitas

PT Vale Indonesia memiliki wilayah konsesi yang mereka sebut sebagai Blok Tanamalia, seluas 21.020,63 hektar. Namun, penduduk setempat di bagian Kecamatan Towuti, Kabupaten Luwu Timur, tidak menyebut tempat tinggal mereka sebagai ‘Blok Tanamalia’, melainkan Loeha Raya – yang meliputi Desa Loeha, Rante Angin, Masiku, Bantilang dan Tokalimbo. Kegiatan ekonomi utama bagi 3.342 orang yang tinggal di daerah ini adalah pertanian lada, dengan sebagian besar keluarga mengelola perkebunan lada kecil mereka selama lebih dari 40 tahun. Ini adalah kehidupan yang makmur. Tiga juta pohon lada yang berada di daerah tersebut menghasilkan lebih dari 25.000 ton lada, memberikan penghidupan yang layak bagi masyarakat setempat serta 10.000 pekerjaan untuk pekerja musiman selama masa tanam dan panen.

Pengelolaan hutan hujan juga merupakan mata pencaharian karena terdapat hutan hujan yang masih asli di Sulawesi Selatan. Hutan hujan seluas 13.522 hektar ini melindungi masyarakat dengan menyediakan zona penyangga dari kebakaran, mengatur curah hujan dan iklim, serta menjadi sumber air utama bagi masyarakat Loeha Raya. Hutan ini juga menjadi rumah bagi beberapa flora dan fauna paling beragam di dunia, sebagian besar di antaranya terancam punah.

Namun, PT Vale mulai melakukan ekspansi pada awal tahun 2022 di dalam jaringan ekosistem yang kaya ini. Mereka melakukan ini tanpa memberi tahu, berkonsultasi dengan atau mendapatkan persetujuan dari petani lada, pekerja pertanian lainnya, nelayan, atau pun keluarga mereka. Tidak hanya itu, mereka juga mengundang militer untuk terlibat dan polisi untuk membubarkan keresahan dan protes.

Para perempuan di komunitas ini telah membentuk sebuah kelompok yang dinamakan Pejuang Perempuan Loeha Raya. Para perempuan ini mengorganisir kampanye untuk melindungi udara, air, tanah dan komunitas mereka dari ekspansi pertambangan nikel, dan mereka adalah tuan rumah selama kami tinggal di Loeha Raya.

Seorang Pejuang Perempuan Loeha Raya menjelaskan isu-isu yang mereka hadapi dalam melawan pertambangan nikel dalam melindungi hutan dan mata pencaharian mereka melalui pertanian lada.

Pelecehan, Intimidasi, dan Kriminalisasi

Pada acara makan malam perpisahan yang mereka adakan untuk kami, kami diinterupsi oleh kunjungan mendadak dari Kepala Desa yang menanyakan paspor, visa, dan alasan kami berada di sana. Sebelumnya ia telah diberitahu tentang kunjungan kami tetapi penguasa lain mendesaknya untuk menolak kedatangan kami. Kewaspadaan terhadap para pembela lingkungan dan hak asasi manusia adalah hal yang wajar bagi masyarakat Loeha Raya.

Kewaspadaan para pembela lingkungan dan hak asasi manusia ini merupakan hal yang lumrah bagi masyarakat Loeha Raya.

Keesokan harinya, ketika kami melanjutkan perjalanan dengan perahu menyeberangi Danau Towuti, kami juga disambut oleh pihak berwenang dari desa sebelah yang mengajukan tuntutan serupa. Pemandu ‘Tur Racun’ kami, Muhammad Al Amin, Direktur Eksekutif LSM lokal Walhi Sulawesi Selatan, sebelumnya telah diintimidasi, dengan banyaknya poster ‘Buronan’ di kantor polisi setempat dan pesan yang menyuruhnya agar dia tidak kembali.

Namun, dia tetap datang kembali, dan Walhi Sulawesi Selatan telah mendukung masyarakat yang berada di wilayah pertambangan nikel untuk menulis surat dan mengingatkan pemerintah Brasil (tempat asal Vale), pemegang saham Vale, pemerintah Norwegia (melalui Norges Bank Investment Management), pemerintah Indonesia dan beberapa lembaga hak asasi manusia internasional di bawah komunitas Right to Say No tentang pertambangan yang merusak seperti mereka dapat lihat di operasi tambang nikel PT Vale yang berada tidak jauh dari Sorowoko. Untuk menanggapi kekhawatiran masyarakat, bulan November 2023 PT Vale menyewa jasa kontraktor yang seharusnya bertindak independen untuk melakukan wawancara dengan sejumlah kecil orang dari masyarakat Loeha Raya – ini disebut konsultasi versi mereka. Namun, kontraktor ini ditunjuk dan diinstruksikan oleh Vale, dibayar oleh Vale, diantar oleh Vale, dan telah memberikan laporannya hanya kepada Vale. Masyarakat masih belum pernah melihat laporan yang dihasilkan. Mekipun konsultasi tersebut dilakukan tidak adil, dan kekhawatiran masyarakat setempat yang terus berlanjut dan tidak tertangani, hak konsesi milik PT Vale diterbitkan kembali baru-baru ini.

Foto: Sebuah poster ‘Dicari’ dari mitra YLNM, Muhammad Al Amin, Direktur LSM lokal WALHI Sulawesi Selatan yang ditempelkan di kantor-kantor polisi. Dia juga dikirimi pesan yang menyatakan bahwa dia tidak boleh kembali.

Perlawanan yang Dipimpin Perempuan Terus Melawan Ekstraktivisme

Dari percakapan kami dengan masyarakat setempat di Loeha Raya dan Torobulu – tempat perlawanan yang dipimpin oleh perempuan kuat telah muncul untuk melawan invasi ekstraktif – jelas dipahami mengapa mereka menolak pertambangan sebagai mata pencaharian yang layak. Pencemaran yang disebabkan oleh pertambangan berada tepat di depan mata mereka, di dalam tubuh mereka, di perairan dan lingkungan sekitar mereka. Pertambangan tidak akan pernah bisa menjadi berkelanjutan, bahkan pada dasarnya sifatnya tidak berkelanjutan – pertambangan mengekstraksi, mencemari, dan menelantarkan. Jaringan solidaritas global, seperti Yes to Life No to Mining, dapat membantu masyarakat untuk melihat apa yang telah dilakukan oleh perusahaan ini di tempat lain. Pada tahun 2015-2019, di tempat asal Vale di Brasil, perusahaan tersebut bertanggung jawab atas keruntuhan dua bendungan limbah tambang yang terpisah- kejadian terakhir menewaskan 272 orang di Brumadinho.

 

Perempuan biasanya menjadi pihak yang paling terpengaruh oleh dampak ekstraktivisme. Pertambangan menghantam rumah tangga terlebih dahulu – dalam hal pasokan air dan makanan untuk memberi makan keluarga, dan juga dalam hal kegagalan panen dan kematian hewan. Satu hal terpenting adalah kerusakan sosial dan keluarga; pembentukan distrik pertambangan dengan pekerja sementara, yang sebagian besar adalah laki-laki, biasanya menyebabkan peningkatan perdagangan manusia untuk eksploitasi seksual perempuan, bersamaan dengan meningkatnya kekerasan dalam rumah tangga. Namun, perempuanlah yang melangkah maju untuk memimpin perlawanan, walaupun penindasan patriarki terus berlanjut.

Foto Atas: YLNM dan Rainforest Rescue berdiri dalam solidaritas dengan para perempuan Torobulu yang tetap teguh dalam perlawanan mereka terhadap pertambangan nikel di tanah dan perairan mereka. Foto Bawah: YLNM dan Rainforest Rescue duduk bersama para perempuan Torobulu di desa mereka mendiskusikan perlawanan mereka terhadap pertambangan nikel yang hanya berjarak 100 meter dari rumah mereka.

Alternatif untuk Penambangan Nikel & Ekstraktivisme

Photo:Sebuah koperasi perempuan yang disebut ‘Komunitas Peduli Perempuan’, yang berbasis di Tompira, Sulawesi Tengah, memproduksi tujuh produk berbeda yang terbuat dari sungai, seperti stik kerang dan makanan lainnya. Koperasi dan mata pencaharian mereka terancam karena penambangan pasir di hulu sungai yang digunakan untuk pembangunan tambang nikel dan pabrik peleburan.

Kamu telah melihat bahwa di Loeha Raya sudah ada alternatif untuk menggantikan pertambangan, yakni pertanian lada dan bentuk pertanian berkelanjutan lainnya. Lebih tepatnya, ini bukan mata pencaharian alternatif, melainkan mata pencaharian yang sudah ada dan berhasil. Pertambangan adalah alternatif, salah satu yang ditolak dengan tegas. Kami berbicara dengan seorang mantan pekerja tambang yang mengatakan kepada kami bahwa ekonomi mereka lebih baik dengan bertani lada, belum lagi hidup dan bekerja di lingkungan yang lebih sehat dan lebih aman, dan ia bilang dengan ‘hati nurani yang lebih bersih’.

‘Alternatif’ memang berlimpah. Di Sulawesi Tengah, di kota Tompira, kami mengunjungi sebuah koperasi produsen perempuan – Komunitas Peduli Perempuan dan Anak  memproduksi tujuh produk berbeda dengan bahan berasal dari sungai, seperti stik kerang dan makanan lainnya. Koperasi ini terhubung dengan koperasi perempuan di komunitas lain, semuanya berdagang di pasar setempat.

Mantan penambang, Haryono, meninggalkan pertambangan nikel karena kerusakan lingkungan dan kondisi kerja yang tidak aman.

Namun, sekali lagi, penambangan pasir di aliran hulu sungai untuk pembangunan tambang nikel dan peleburan mengancam masa depan mereka. Pengerukan dasar sungai menciptakan air berlumpur tebal yang membuat kerang dan ikan lainnya lebih sulit ditemukan dan ditangkap. Pengerukan ini juga mengubah arah dan kedalaman sungai serta mengikis habitat. Oleh karena itu, jumlah kerang telah berkurang dan harus dicari di tempat dengan akses yang tidak mudah. Terlebih lagi, persaingan untuk mendapatkan ruang penangkapan ikan semakin meningkat karena para nelayan terpaksa berpindah dari daerah lain yang telah dimasuki pertambangan nikel. Ruang penangkapan ikan juga menyusut karena pemilik perkebunan kelapa sawit di sepanjang sungai mengklaim sungai sebagai bagian dari konsesi mereka dan mencegah penangkapan ikan di sana.

Ekonomi demokratis setempat seperti yang kami lihat di Tompira merupakan ekonomi yang berkelanjutan dan memberikan peluang ekonomi bagi masyarakat setempat, terutama perempuan. Namun, hal ini semakin sulit untuk bertahan di tengah industri ekstraktif seperti industri pertambangan nikel. Ini karena dampak dari pertambangan tidak dikendalikan – pencemaran menyebar melalui udara, tanah dan air, serta mencegah kehidupan berdampingan.

 

 

Transisi ‘Hijau’ Masih Jauh dari Sekadar Hijau

Jelas bisa dipahami dari Kasus Emblematis dari Sulawesi Indonesia, bahwa model Transisi Hijau yang ada sekarang jauh dari keadilan, jika ‘Hijau’ berarti berkelanjutan dan ramah lingkungan, maka model ini jauh dari dua kualitas tersebut. Sejumlah besar batu bara sedang diekstraksi dan dibakar untuk menjadi bahan bakar industri pertambangan nikel, pada gilirannya hanya menghancurkan ekosistem, mengeluarkan karbon dioksida dalam jumlah besar, menyebabkan udara, tanah, dan air terkena polusi, menggusur masyarakat, dan menghancurkan mata pencaharian berkelanjutan milik mereka. Siapa pun yang melawan ketidakadilan ini akan menghadapi ancaman dan kriminalisasi.

Namun, mereka tetap berjuang. Masyarakat Sulawesi melawan segala rintangan, melawan ancaman kekerasan atau kehilangan kebebasan, menentang salah satu industri terbesar dan terkotor di dunia. Perempuan sering kali memimpin, bersama para perempuan dan keluarga mereka inilah, kami berdiri dalam solidaritas. Sebagai jaringan komunitas global, kami bergabung bersama untuk membangun masa depan yang dapat menopang kami; masa depan di mana kami, dan seluruh dunia yang hidup, dapat berkembang.

Sebagai jaringan komunitas global, kami bergabung bersama untuk membangun masa depan yang dapat menopang kita; masa depan di mana kita, dan seluruh dunia yang hidup, dapat berkembang.

Untuk itu, kami mengatakan Ya untuk Kehidupan, Tidak untuk Pertambangan!

__

Lihat kotak lambang dalam bahasa Inggris dan Spanyol

Diproduksi oleh: Yes To Life No to Mining 2024

Penulis: Lynda Sullivan

Editor: Guadalupe Rodriguez, Tom Takezoe, Nat Lowrey

Desain Video, Foto & Multimedia: Nat Lowrey

Terima kasih. kepada Muhammed Ali Amin, semua staf dan relawan di Sulawesi Alliance dan Rainforest Rescue.

Terima kasih khusus, kepada masyarakat Loeha Raya, Tompira, dan Torobulu di Sulawesi Selatan yang telah menyambut kami di komunitas mereka dan berbagi kisah perlawanan mereka.

Kasus lambang ini didukung oleh